Bulan September ceria ini saya buka dengan mengikuti lomba Vocal Group (VG) yang sudah saya ceritakeun pada dua blog post terakhir.
We started our journey on Thursday, September 1st 2016, with aeroplane *Leaving on a Jetplane mengalun*
FYI ini bukan VG tingkat nasional atau dalam skala besar ya, hanya antar kantor perwakilan dalam negeri; karena ada juga Kantor perwakilan luar negeri tapi kan mereka ga ikutan. Berat di ongkos tentu ya bok.
VG kami terdiri dari 12 orang; 10 Anggota vokal group, 1 Manajer dan 1 Pembina.
Tugas kami ber 12 sama-sama tidak mudah.
Untuk anggota Vokal group, sementara yang tiga harus ‘membagi’ otaknya untuk bernyanyi dan memainkan alat musik; tujuh sisanya harus ‘membagi’ otaknya untuk bernyanyi dan mengingat koreografi.
Saya termasuk yang paling ‘lelet’ otaknya dalam mengingat koreo. Selama latihan koreo, saya sering salah dan kalau salah wajah saya langsung cemas; kayag yang ‘OMG gue salah, EAT ME PLEASE, EAT ME!’
Hal ini cukup membuat mas koreografernya sering naek darah.
Menurut Mas koreografer, seharusnya kalau salah jangan langsung pasang wajah cemas like
‘LIAT GA BRO? GUE TADI BARUSAN SALAH DONG!’
Seharusnya santai saja, just take it easy, and move on to the next movement, jadi orang yang ngeliat juga ga notice lama-lama kalau saya salah gerakan.
Btw yang ngelatih gerakan namanya Mas Bayu. Beliau ini sangat keren dan cencu saja sudah profesional sekali dalam urusan per-koreografi-an.
Mas Bayu yang paling kiri, cara berdirinya aja udah beda yak, khas koreografer gitu hehehe
Lanjut,
Kami sampai kamis malam setelah dua jam berada di dalam pesawat (Gosh!). Padahal Palembang-Jakarta notabene bisa ditempuh dalam 50 menit sadja.
Landing-landing kepala puyeng; cerita-punya cerita kenapa pesawatnya tertunda mendarat satu jam karena di Halim (ternyata) ada Inspeksi mendadak.
Dari Bandara terus mampir bentar ke Grand Indonesia buat makan, saya pesan soto betawi tapi anehnya menurut saya soto betawi di Palembang terasa lebih enak dan tasty daripada di tanah asalnya. Kalau ga percaya boleh dicoba deh mbak masnya kalau ke Palembang 😀
Minus satu, doi lagi shopping :p
Setelah makan kita semua langsung cuss ke hotel dan istirahat buat lomba besok harinya.
Besoknya kita sudah bangun dengan perasaan lebih baik; kepala puyeng akibat kelamaan di pesawat pun sudah hilang.
Siap-siap kita ke Tekape lomba dan sebelumnya kita sempat latihan dulu di hotel. Curi-curi waktu buat latihan ini penting syekali karena bisa bikin kita lebih pede dan ‘panas’.
Kata teman VG satu tim saya, ‘kita ini ibarat diesel mbak, perlu waktu buat ‘dipanasin’ 😀
Tapi setelah di tekape kayagnya ga perlu banyak-banyak latihan buat ngerasa ‘panas’.
Berada di nomor urut 9 membuat kami harus menyaksikan satu persatu tim VG dari kantor pusat dan Kpw lain. Itu bener-bener ngebuat puanaaaas sodara sodaraaa hahaha.
Panasnya bukan karena apa-apa sih, tapi karena pesertanya bagus-bagus semua! Dan ketika peserta yang lain bagus, cuma dua dampak yang mungkin timbul pada kami : 1. Kami Jiper 2. Kami Panas juga buat nunjukkin kalau kami sama bagusnya! 😀
Alhamdulillah option ke 2 lebih mendominasi. Kami memang sudah bertekad untuk menyampingkan kompetisi instead of fun. So the fun must be dominant!
Melenceng sedikit, bukannya GR, hanya sedikit sombong, ngahaha – buanyak banget yang bilang kostum kami bagus dan unik.
Sekalian promosi, kostum yang kami pakai dirancang oleh desainer bertalenta dari Palembang namanya Brilianto, dipanggil Bian.
Jadi selain Dian Pelangi, Palembang juga punya desainer muda bernama Brilianto. Akhir Agustus kemarin doi ikutan Yogya Fashion Week dan dapet juara tiga.
Kalau mau lihat rancangan lainnya bisa ke ignya @pesona_palembang83 atau ke ignya Mas Bian di @brilianto83
Mas Bian, empat dari kiri 🙂
Setelah menunggu, kami akhirnya dipanggil juga. Gugup pasti, cemas juga ada. Tapi optimis itu harus, Insya Allah kami bisa. Maklum, kami baru kali ini jadi perwakilan sumatera.
Awal di panggung grogi menyerang. Ketika hormat kami tidak bareng (OMG!) padahal yang berdiri di depan ber7 orang (3 orang di belakang pegang alat musik kan); kalau ga bareng itu kelihatan enggak banget.
But soon after the music on, dan kami mulai bernyanyi, gugup berangsur-angsur hilang and it was totaly FUN!. Kami bernyanyi lagu daerah sebanyak 7 lagu yang dimedley dan diaransemen ulang tanpa kehilangan versi aslinya. Thanks to Pelatih vokal kami, Mas Eddy yang sudah membuat semua aransemen lagu dengan ciamik dan melatih vokal kami yang pas-pasan ini.
Paling kiri di keyboard, Mas Edy, Pelatih vokal kami 🙂
Diluar ekspektasi, tiap pergantian lagu kami mendapatkan tepuk tangan sangat meriah padahal kami jauh dari rumah dan tentu saja minim suporter.
Which this made me mikir ini karena kami memang tampil bagus atau mereka kasihan karena tahu kami ndak punya suporter, hihi.
Tapi mendapat dukungan sedemikian, kami jadi tambah bersemangat tampil. Hahaha. Rasa pede jadi bener-bener terdongkrak abeesh 😀
Setelah lagu terakhir selesai dimainkan dan kami turun dari panggung, kami bersuka cita gila-gilaan, feeling the heat but also fun. Ada rasa puas yang tidak terbayangkan sebelumnya, as one of my Vg mate said ‘Aku kayag habis pecah bisul Mbak!!’
Hahaha, pecah bisul 😀
Akhir perlombaan kami puas-puaskan dengan berfoto ria, baik dengan rekan-rekan sejawat maupun para petinggi dan pejabat kantor pusat.
Atasan saya yang menjadi Pembina VG pernah berkata kepada kami
‘Sebenarnya kita mengadakan lomba semacam ini sebagai salah satu usaha sederhana untuk melestarikan budaya Indonesia melalui kostum, Gerakan Tari, dan lagu daerah. Jangan sampai ketika budaya kita diklaim oleh negara lain baru kita panik; padahal kita sendiri tidak pernah punya effort untuk menegaskan bahwa budaya tersebut milik kita’
Dan hal itu menjadi demikian benar.
Ketika kami menyanyikan Yamko Rambe, terbayang kehidupan orang-orang di Pulau Papua;
Hee yamko rambe yamko
aronawa kombe
Hee yamko rambe yamko
aronawa kombe
Temino kibe kubano ko bombe ko
Yuma no bungo awe ade
Temino kibe kubano ko bombe ko
Yuma no bungo awe ade
Ketika kami menyanyikan Angin Mamiri terbayang seorang kekasih yang sedang patah hati di pulau Sulawesi;
Anging mammiri ku pasang
Pitujui tontonganna
Tusarroa takkan luppa
demikian ketika Menyanyikan lagu Rame-Rame, terbayang seseorang di Ambon yang mati-matian ingin memikat hati seorang wanita.
Sio Nona Jang Padede
Mari Rapat Kemari e
Jangan takut beta Cuma polose
Badansa putar bae bae
Jangan sampai ale tagalay
Nanti pulang mama bisa bakalay
Indonesia itu ish, luar biasa kaya akan budaya!
End of story, kami pulang ke Palembang pada hari sabtu; dengan wajah sumringah.
Namun setelah melewati kompetisi ini kami menyadari satu hal, bahwa kemenangan tak harus selalu tersimbol pada angka atau piala;
kemenangan yang sesungguhnya ada pada kami yang telah berusaha -meski dengan cara yang sangat sederhana- untuk terus menjaga budaya milik kami, milik Indonesia.
Itu saja.
Btw kami berhasil menjadi pemenang ke-2 antar Kpw daerah, setelah Bali dan harapan ke-2 keseluruhan, Alhamdulillah ya 😀