Saya bahkan tidak tahu nama lengkap Mbah.
Saya hanya memanggil beliau dengan ‘Mbah’ tanpa awalan dan tanpa akhiran.
Mbah adalah seorang sepuh wanita yang saya kenal ketika saya bekerja di Singkut dulu. Umur beliau sekitar enampuluhan.
Singkut, adalah nama salah satu Kabupaten yang terletak di perbatasan antara Jambi dan Lubuk Linggau.
Dari Jambi ke Singkut dapat ditempuh dalam waktu 5 jam; sementara dari Linggau terpisah jarak hanya 2 jam.
Sehari-hari Mbah memiliki dan mengelola usaha warteg, letaknya persis di pinggir jalan lintas Sumatera. Bila kita melakukan perjalanan dari Singkut ke Lubuk Linggau, maka kita akan menemukan kedai Mbah di sebelah kanan jalan, tak jauh dari pasar Singkut.
Kedai Mbah sangat sederhana. Sekilas mata, orang dengan perut lapar tidak akan tertarik untuk mampir lalu makan. Penampakan depan, Kedai Mbah terbuat  dari gubuk kayu yang tersambung ke rumah beliau yang berada persis di belakang kedai tersebut. Rumah beliau sendiri sudah terbuat dari batu.
Namun pada kenyataan sehari-hari kedai Mbah selalu ramai, itu lain lagi. Meski penampilan kedai tidak menarik, namun ada hal lain yang membuat pengunjung untuk datang lagi dan lagi.
Sebagai anak perantauan (karena orang tua saya tinggal di Palembang) bisa dibilang bahwa saya menggantungkan hidup saya pada Mbah. Sehari-hari saya makan di tempat Mbah, dimana Saya akan membayar tagihan makan secara mingguan.
Tadinya begitu saja.
Saya diajak teman kantor untuk makan siang di tempat Mbah, lalu kembali ke kantor.
Begitu saja.
Lalu datanglah hari-hari dimana saya sebagai pegawai freshgraduate – yang seumur hidup baru sekali berpisah dengan orang tua – merasa nelangsa yang amat sangat. Seringkali hal ini dipicu oleh rasa homesick dan keinginan saya untuk makan masakan Ibu.
Saya ingat pada Mbah, lalu saya telefon beliau (ya, waktu itu Mbah sudah memiliki handphone).
‘Mbah,… ini Nina. Mbah saya bisa minta tolong dimasakin terong pedas ga Mbah?’
Dan wala. Ketika makan siang Mbah sudah menyediakan terong pedas.
Teman sekantor saya yang juga perantauan juga kerap meminta kepada mbah seperti itu.
‘Mbah,… tolong dimasakin gudeg!’
Dan siangnya kami sekantor dapat menikmati gudeg Jogja bikinan Mbah.
Terkadang saya merasa, Mbah juga tak mau kalah. Beliau selalu punya inisiatif yang membahagiakan hati.
Pernah beliau membeli durian lalu memasak ketan dan menelefon saya.
‘Pulang kantor mampir sini dulu ya Na,.. Mbah masak Ketan, nanti makannya pakai duren!’
Hal ini tentu saja berdampak pada kami yang menutup kantor dengan kesan terburu-buru karena sudah terbayang ketan duren lezat bikinan Mbah.
Atau di banyak hari beliau akan bertanya
‘Besok Na mau Mbah masakin apa? Biar Mbah bisa sekalian belanja’
Namun di akhir minggu, tagihan makan yang datang ke saya tetap segitu-segitu saja. Padahal tak terbayang betapa sering kami makan ‘camilan’ di tempat mbah. Yang kolak duren, yang pisang goreng, yang bakwan,..
‘Mbah,.. klo kita makan camilan itu mbok ya dimasukkan juga tagihannya ke kita,.. ntar Mbah rugi lho’ celetuk saya suatu hari.
Tapi minggu selanjutnya tidak ada perubahan pada tagihan saya. Nominalnya ya segitu-segitu saja.
Ada kalanya ketika saya sedang penat dan ingin curhat, saya cerita pada Mbah; bisa via telefon ataupun saya hampiri beliau di kedai. Meskipun tidak tamat sekolah, namun pola pikir beliau sangat saya hargai karena telah ditempa oleh kerasnya pengalaman hidup. Saya suka mendengarkan beliau bercerita.
Mbah,.. Mbah,.. Mbah membuat rumah terasa dekat.
Dan saat itupun tiba.
Saat ketika angin puting beliung tak hanya berdampak pada nasabah namun juga pada pegawainya.
Konsekuensi dari pernah menandatangani sebuah surat dengan kalimat :
Bersedia ditempatkan dicampakkan dimana saja di seluruh Wilayah kerja.
‘Mbah tolong jangan menangis terus. Kami tinggal seminggu lagi disini. Masak tiap kami kesini Mbah sambut dengan tangisan’ ujar saya, dengan hati susah.
Susah karena saya dan rekan harus menerima kenyataan penempatan selanjutnya adalah Pulau Belitung yang bukan hanya jauh, tapi juga menyeberangi pulau Sumatera;
Susah karena sudah semingguan ini Mbah terus menangis apabila melihat kami.
‘Biaklah! Mbah ndak bisa tahan air matanyo!’ jawabnya dengan logat Jawa-Jambi yang kental, sambil mengusap air mata dengan dasternya yang sudah lusuh.
‘Yo weis,.. klo masih nangis terus, besok Na dan Mawan ndak usah makan disini lagi…’ ancam saya halus.
‘Jangan kog. wong tinggal seminggu lagi ketemunya sama Na dan Mawan’ ucap beliau lirih.
Saya tersenyum sekaligus pilu mendengar jawaban beliau.
Saat ini, tak terasa sudah sembilan tahun saya tak jumpa dengan Mbah.
Saya ingat terakhir melihat Mbah dengan mata berkaca-kaca, berdiri di depan kedainya, melepas kami sambil memeluk bingkisan kenang-kenangan dari Saya dan Mawan; rekan sekantor saya yang juga dimutasi.
Meski telah lama berlalu, tetap Saya ingat Mbah; masakannya, ketulusan hatinya, perhatiannya, candanya, kecerewetannya ketika memberikan wejangan kepada saya, yang notabene bukan siapa-siapa, namun beliau memperlakukan Saya dan teman-teman kantor seperti anak bahkan cucunya.
Meski telah lama berlalu, tetap Saya ingat Mbah; karena tidak banyak orang yang tulus seperti Mbah di dunia.
Ah Mbah, jika suatu hari nanti kita berjumpa kembali, saya ingin sekali memeluk lalu mengucapkan satu hal kepada Mbah.
Saya kangen, Mbah,…