“Cita-cita bunda apa?”
Tanya RFA disuatu sore sewaktu menjemput saya selepas jam kantor dengan Abienya.
Abienya, seperti biasa, kalau sedang off, memiliki tugas rutin mengantar dan menjemput saya dari kantor. Ini karena saya menolak membawa kendaraan sendiri kalau Abie ada dirumah ceritanya istri manja, hehe
“Eh, cita-cita Bunda apa? mmmmmm kerja di Bank”
Jawab saya setengah tertegun. Saya lupa kapan terakhir saya memikirkan cita-cita 😀
“Terus kalau cita-cita Bunda kerja di Bank, kenapa Bunda ga kerja di Bank?”
Tanya RFA lagi dengan suara nyaring.
“Loh RFA, Bunda kan dulu sudah pernah kerja di Bank…”
Ini beneran. Saya bekerja 3 tahun di salah satu Bank BUMN, kemudian resign ketika mengandung RFA. Saya resign karena saya ingin memperpendek jarak antara Pulau Belitung-tempat dimana dulu saya bertugas – dan Prabumulih-tempat suami bertugas. Setahun menganggur, saya kemudian bekerja lagi di salah satu Lembaga Pemerintahan yang bergerak di Bidang Keuangan di Palembang hingga sekarang. Jarak Palembang Prabumulih hanya 2 jam.
“Kan sekarang Bunda juga masih kerja di Bank Rfa…” Kata Abienya menimpali.
“Ah bunda bukan kerja di Bank. Itu kantor. Kalau Bank ga kayag gitu”
Jawab RFA, dengan wajah sok tau.
Saya tergelak.
Mengenai cita-cita, ketika sekolah dulu, saya memang punya banyak cita-cita, bekerja di Bank salah satunya. Rasanya keren bila bisa bekerja di kantor seharian. Namun saat ini, semua keinginan yang dulu seolah sirna. Pekerjaan rasanya sudah sebagai bonus, dan bukan center of my universe lagi.
Inginnya saya berkata
“RFA, cita-cita Bunda sekarang adalah adanya Abie, Kamu dan adikmu di hidup Bunda. Cita-cita Bunda sekarang adalah dekat dengan kalian bertiga. Cita-cita Bunda sekarang adalah seimbangnya waktu untuk diri sendiri dan keluarga. Cita-cita Bunda sekarang pada intinya adalah, adanya kepentingan kalian bertiga didalamnya; dan bila tidak ada, maka itu bukan Cita-Cita”
Namun saya tidak yakin RFA akan paham di umurnya yang sekarang. Ia tidak akan paham bahwa cita-cita bisa jadi tidak berbentuk profesi seperti dokter, pilot atau insinyur. Cita-cita bisa jadi hanyalah rasa bahagia.
Ia tidak akan paham bahwa saat ini pun Bunda sedang menjalani cita-citanya. Cita-cita Bunda sesungguhnya sudah tercapai.
Maka sembari melihat pemandangan di sepanjang jalan, jawaban untuk RFA tersebut hanya terngiang di benak saya yang lalu saya simpan dalam senyuman.