Hidup terkadang memberikan Anda pelajaran melalui siapa saja yang dikehendakinya.
Saya sedang berada di sebuah pertemuan, duduk mengelilingi meja bundar yang diisi dengan enam orang. Sembari menunggu acara mulai, saya menghabiskan waktu dengan mengobrol. Kebetulan saya duduk bersebelahan dengan teman saya dari SD dan Istrinya. Ketika itu saya baru sebulan resign dari pekerjaan terakhir saya. Pertanyaan yang masih hot tentu saja ‘kenapa kok resign?’. Karena sang teman sudah saya anggap lebih mirip keluarga daripada teman, saya tak kuasa menumpahkan segala alasan panjang kali lebar mengenai sebabnya saya resign – yang biasanya tak secara gamblang saya beberkan ke orang lain.
Namun postingan ini tidak akan bercerita mengapa saya resign dan apa yang melatarbelakanginya. Karena itu sudah saya tuliskan secara tersirat pada tulisan yang ini. Salah satu tidak enaknya (atau enak?) menjadi orang yang hobi menulis adalah – anda tidak piawai menyembunyikan apa yang sedang ‘nyangkut’ di benak anda. Anda pasti gatal ingin segera menuliskannya kemana saja – dari Microsoft Word yang diprotect password hingga curhatan alay di blog.
Kembali ke meja bundar dimana saya sedang ‘curhat’ dengan teman lama saya dan istrinya. Tiba-tiba seorang Bapak yang posisi duduknya di seberang saya memotong pembicaraan kami bertiga dengan semena-mena.
‘Memang mbak cita-citanya dulu apa?’ tanyanya sambil tersenyum.
Saya kaget. Saya tidak kenal beliau. Sang bapak rupanya menyimak pembicaraan kami sedari tadi. Padahal saya merasa sudah berbicara dengan suara teramat pelan. Apakah beliau mencuri dengar?
‘Eh ya itu Pak. Cita-cita saya dulu kerja di Bank’ jawab saya salah tingkah
‘Sudah tercapai ya mbak?’
‘Alhamdulillah’ ujar saya. ‘tapi toh resign juga Pak, hahaha’
‘Dulu kenapa pingin kerja di Bank?’ kejarnya lagi
‘Karena apa ya Pak? Karena duit orang Bank biasanya banyak Pak’ jawab saya sekenanya.
Jelas itu hanya jawaban dead end. Berharap sang Bapak menyudahi percakapannya dan saya bisa melanjutkan mengobrol dengan teman saya.
‘Hahaha kebanyakan orang begitu ya’ katanya lagi ‘Padahal itu ga bener loh’
Saya terkejut sekaligus merasa sebal. Wah keterlaluan. Masak iya baru pertama kali bertemu, si Bapak bisa-bisanya langsung menjudge alasan saya untuk memilih cita-cita ga bener? Halah. Ingin rasanya pindah meja dan tempat duduk saat itu juga.
‘Kesalahan umum yang terjadi ketika orang tua menanyakan cita-cita pada anaknya adalah, mereka selalu mengimingi bahwa uang yang utama’ tambahnya lagi
‘Maksud Bapak?’
‘Seperti ketika orang awam bertanya pada anaknya : kamu ingin jadi apa nak besar nanti? Si anak menjawab : jadi dokter Pa. Si Bapak berkata : wah iya bagus. Dokter uangnya banyak. Sekali praktek saja sudah dapat duit berapa. Demikian juga dengan cita-cita menjadi Insinyur, atau menjadi Gubernur, yang dipikirkan adalah bagus, karena profesi itu terpandang dan menghasilkan banyak uang. Dan itu kita tanamkan ke anak-anak kita, dari generasi ke generasi. Tidak heran jika Indonesia menjadi seperti sekarang ini’
Saya tertegun
‘Di Indonesia kebanyakan orang memilih profesi karena mengejar uang, sebagai contoh oknum yang menjadi pejabat dan yang berada di Legislatif, yang utama mereka pikirkan adalah uang. Soal amanat yang mereka emban itu soal nanti, soal belakangan. Yang penting punya jabatan, banyak uang. Sehingga jangan heran kebanyakan mereka mengejar uang dengan berbagai cara. Ketika ketahuan korupsi malah menyiram orang dengan air keras. Karena orientasi utamanya uang dan bukan amanah pada pekerjaan’
Sampai sang Bapak berbicara di titik tersebut, saya teringat dengan salah seorang dokter kandungan wanita yang pernah saya datangi ketika saya hamil dulu.
Sang dokter memang terkenal dan memiliki banyak pasien. Ketika giliran saya masuk ke ruangan beliau, sang dokter terkesan terburu-buru dan ingin cepat selesai. Ia hanya menjelaskan sekenanya, lalu memberi banyak obat yang tidak dijelaskannya untuk apa. Sebagai ibu hamil, saya tidak sempat bertanya dan berkeluh-kesah. Toh meski saya bertanya, setiap pertanyaan saya dijawab dengan jawaban yang singkat tanpa penjelasan yang berarti. Hal ini membut saya berprasangka buruk : bahwa mungkin ia sedang mengejar kuota untuk mengambil pasien sebanyak-banyaknya yang memang sudah mengular di luar sana. Prasangka buruk saya waktu itu adalah It’s all about the money. It’s all about the dam dam dara dam dam. Entah benar atau tidak prasangka buruk tersebut, yang pasti saya kecewa. Kalau memang ia terburu-buru karena sesuatu hal, saya sebagai pasien lebih legowo jika ia terus terang seperti : maaf saya buru-buru karena ada pasien yang akan operasi.
Puaskah saya dengan pelayanan dokter tersebut? Tidak.
Bermanfaatkah ia? Jika memberi ibu hamil banyak obat bisa dikatakan bermanfaat, ya. Namun tetap saya tidak merasa terbantu.
Apakah saya lalu kembali lagi memeriksakan diri saya kesana? Tidak. Itu adalah kali pertama dan kali terakhir saya ingin berkonsultasi dengannya. Prasangka saya waktu itu adalah,
Ia tidak sungguh-sungguh peduli dengan keadaan saya.
Lalu saya berpindah dokter kandungan. Seorang wanita juga. Ia hanya melayani pendaftaran lewat telefon. Ia membatasi pasiennya dalam satu hari ia praktek. Jika saya tidak mendaftar sebelum saya datang kesana, saya akan disuruh pulang dan mendaftar untuk praktek esok harinya. Ketika saya datang dan berkonsultasi dengannya barulah saya tahu mengapa ia membatasi pasiennya. Ia selalu menjawab pertanyaan dengan penjelasan yang detil. Ia bertanya tidak hanya pada sang ibu – namun juga pada suami saya. Ia menjelaskan apa yang terjadi pada layar USG dengan bahasa umum yang saya dan suami mengerti. Ia seolah ingin tahu bahwa keadaan saya benar-benar baik-baik saja, tanpa kendala yang berarti dan suatu hal yang harus diantisipasi.
Puaskah saya dengan pelayanan dokter tersebut? Sangat puas
Bermanfaatkah ia? Sangat bermanfaat
Apakah saya lalu kembali lagi memeriksakan diri saya kesana? Tentu saja. Beliau mendampingi saya selama 9 bulan masa kehamilan, hingga saya melahirkan.
Apakah saya ingin kembali lagi menggunakan layanannya? Beliau adalah dokter yang pertama kali akan saya cari ketika saya hamil anak saya selanjutnya. Anggapan saya waktu itu adalah,
Ia sungguh-sungguh peduli dengan keadaan saya.
Kembali ke ruangan dan meja bundar.
Saya melihat sang Bapak dihadapan saya yang masih berbicara sambil tersenyum.
Rasa sebal saya memudar. Saya tidak lagi merasa sebal padanya. Saya tidak lagi merasa sebal karena ia sudah semena-mena menginterupsi percakapan saya dan teman saya. Saya malah senang ia telah menginterupsi. Saya menjadi tertarik mendengar penjelasan panjang pendek mengenai nilai yang diyakininya.
Sebagai anak muda yang sudah menjadi orang tua (anggaplah saya masih muda :p) saya seharusnya berterima kasih padanya karena sudah mengingatkan saya.
Bahwa ketika saya menanyakan kepada anak apa cita-citanya, saya harus berhati-hati agar saya tidak menjebloskan anak saya sendiri untuk menjadi seseorang yang menjadikan uang sebagai pusat alam semestanya.
Misalnya, jika anak memiliki cita-cita sebagai Pilot. Yang sebaiknya anda katakan sebagai orang tua adalah ‘wah bagus nak karena Pilot adalah profesi yang mulia. Ia mengantarkan orang-orang ke mana saja, ia membuat keluarga bertemu dengan keluarga, pebisnis bertemu dengan koleganya, dan ia membuat waktu banyak orang berharga’ tekankan pada manfaat profesinya dan bukan pada ‘wah bagus nak, Pilot gajinya besar’
Maksudnya, saya tidak naif dan berbasa basi
Uang itu juga penting, lho.
Namun uang tidaklah sepenting itu untuk lalu bisa menggerus nilai-nilai kemanusiaan yang kita yakini. Menyiramkan muka orang dengan air keras untuk menutupi korupsi, itu perbuatan biadab. Uang tidaklah sepenting itu untuk lalu kita tempatkan di atas nilai-nilai mengemban amanah dan menjalankan profesi dengan bertanggung jawab. Ketika mati kita tidak akan ditanya kita bekerja dimana, apa jabatan kita, berapa besar gaji kita. Namun ketika mati, kita akan diminta pertanggung jawaban atas AMANAH PEKERJAAN yang harusnya kita jalankan.
Sang Bapak membuat saya mengamini bahwa saya tidak ingin anak-anak saya mengejar uang semata dalam kehidupannya – dalam profesi apapun yang nanti diembannya.
Saya menatap Bapak di seberang saya dan mengingat sederet kalimat penutup paling menusuk hati yang ia ucapkan :
‘Termasuk ketika anda kerja di kantor. Ketika sudah waktunya pulang ya pulang, kerja itu kan ada waktunya. Jika anda terus-terusan kerja over time untuk mengejar uang, sementara waktu untuk keluarga sedikit bahkan tidak ada, apakah anda lupa bahwa Keluarga anda, Anak-anak anda, adalah Amanah juga bagi anda?’